Jun 4, 2013

Cerita Senja

Senja hari di kosan.
Aku duduk bersandar ke tembok, tepat di bawah jendela. Jendela yang pernah masuk ke dalam mimpi beberapa minggu yang lalu. Jendela yang masuk ke mimpiku bersama kamu yang tengah membuka tirai. Mengabarkan kamar kos bahwa matahari sudah terbit. Bahwa, kamu sudah datang.

Dan aku terbangun.
Aku terbangun, ketika hanya fajar menyeruak lembut di ufuk timur. Tak ada matahari terbit. Tak ada kamu. Tentu saja.

Sekarang aku disini sedang membuat dunia kecil yang hanya aku mengerti. Tak ada manusia lain yang mengerti. Sebanyak apapun aku berceritera, tapi memang tak ada yang mengerti, selain aku, Allah, dan dua malaikat yang sekarang pasti tengah ikut melihatku mengetik ini.

Jujur saja aku merindukan satu nyawa yang berada beberapa kilometer dari sini. Dia yang dulu pernah seakan-akan mengisi hari-hariku dengan segala kejutannya. Ya, seakan-akan. Kata-kata bisa saja bilang tidak, tapi adakah cara yang mampu menentang hati?

Ku lihat foto akun blogku. Sebuah foto yang diambil di depan candi borobudur satu setengah tahun yang lalu. Ah, aku ingat. Saat itu aku belum mengenalmu. Terkadang otak yang serba ingin dituruti ini meminta aku kembali ke masa itu. Tapi sampai kapanpun waktu tak akan mungkin berjalan mundur. Aku paham itu. Hatiku memang terkadang brutal.

Sudah jadi keniscayaan bahwa setiap impian butuh perjuangan. Kalau neraca massa bilang, impian adalah aliran yang diumpankan ke dalam reaktor perjuangan. Terkadang impian tak terkonversi sempurna. Tangisan, rasa sesal, rasa sedih, dan rasa gusar selalu saja menyertai dan menjadi produk samping. Tapi kamu harus tetap ingat, terwujudnya impianmu sebagai produk utamanya pasti akan terbentuk.

Andaikata produk utama itu tidak sesuai dengan yang kau inginkan. Percayalah Allah akan menganugerahimu produk yang lebih baik. Percayalah, karena Allah tak akan pernah mengabaikan sekecil apapun perjuangan hambaNya.


0 komentar:

Post a Comment