Nov 6, 2013

Spirit of Java

Solo. Aku bukan hendak bercerita tentang penyanyi yang bernyanyi sendirian, melainkan tentang nama sebuah kota menawan yang begitu tersohor di Provinsi Jawa Tengah.

Suatu hari di bulan Juli 2011.

Jam tanganku menunjukkan pukul 20:00 WIB. Aku, ibu, dan adikku serta beberapa anggota keluarga kami yang lain tengah berdiri di peron statisun Gambir. Menunggu kedatangan kereta yang akan membawa kami ke kota asal almarhum ayahku. Setelah satu jam, kereta yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ini kali pertama adikku naik kereta. Dia terlihat sungguh bergairah ingin segera mencoba sensasi bertransportasi dengan kereta. Sementara ini kali keduaku. Pertama kali aku naik kereta adalah ketika aku masih balita, saat itu ayahku masih ada dan adikku belum lahir.

Aku dan keluargaku mengisi tempat duduk yang sudah dipesan. Kereta melaju, adikku tak henti-henti memandang keluar jendela, walau sebenarnya tak terlihat apa-apa karena langit sudah gelap. Sementara adikku masih menikmati pengalaman pertamanya naik kereta, aku memilih untuk tidur.

Subuh itu, kereta penumpang Argo Lawu yang kutumpangi tiba di sebuah stasiun. Aku bergegas mengambil koper dan segera turun dari kereta. Aku berjalan menjauhi kereta dan melihat sekeliling. Pandanganku berhenti saat melihat papan nama stasiun ini: Solo Balapan. Ah inikah stasiun yang selama ini hanya aku dengar di lagu Mas Didi Kempot itu? Dan sekarang aku sudah benar-benar menginjakkan kaki di peronnya. Mungkin waktu balita dulu juga aku pernah kesini, tapi aku sama sekali tak ingat.



Sebelum menuju hotel, kami menunaikan sholat Shubuh terlebih dulu di musola Stasiun Solo Balapan. Di seberang musola kulihat ada beberapa lokomotif sedang terparkir. Udara subuh di Solo tak sedingin di kota tempat tinggalku, Sukabumi. Walau begitu, udaranya terasa sangat bersahabat dan terasa tak asing bagiku. Mungkin karena kota ini adalah kota kelahiran ayahku, yang artinya kota ini juga kota asalku walau aku tak terlahir disini. Bisa dimaklumi, karena budaya keturunan di Indonesia sangat kuat.

Seusai solat Subuh, kami memutuskan untuk langsung menuju hotel menggunakan mobil sewaan. Sebenarnya di kota ini ada satu rumah bhulik dan satu rumah pakde ku. Tujuan kami ke kota ini adalah untuk menghadiri pernikahan anak bhulik ku. Karena takut merepotkan empunya acara, kami memutuskan untuk tidak bilang-bilang bahwa kami sudah tiba di kota Solo. Kalau kami bilang-bilang, pasti bhulik ku bakal lebih repot, maka kami memutuskan untuk datang diam-diam dan menyewa kamar hotel sendiri, bukan hotel bintang lima, tapi cukup nyaman dan bersahabat dengan kantong. Di hotel inilah kami beristirahat selama dua malam di kota Solo.

Karena masih lelah, hari ini kami putuskan untuk beristirahat penuh. Pamanku yang ikut di rombongan kami sudah merencanakan untuk jalan-jalan keliling kota Solo esok pagi. Ia bilang, ia akan menyewa angkot untuk satu hari penuh dan kita bebas keliling kota Solo. Aku tak sabar menanti hari esok.

Malamnya, ketika jam makan tiba, anak pamanku yang juga ikut di rombongan mengajak kami untuk makan di warung angkringan pinggir jalan. Katanya, sensasi makannya akan terasa lebih nikmat. Malam itu kami berjalan menyusuri trotoar di pinggir jalan kota Solo. Ah lampu-lampu gemerlapan nan cantik menyinari malam hari di kota. Udara malam yang tidak terlalu menusuk membuat jalan-jalan malam itu terasa hangat dan romantis.

Setibanya di warung angkringan itu, aku melihat banyak menu yang terdengar cukup asing, salah satunya nasi kucing. Aku bertanya kepada pamanku apa itu nasi kucing. Kupikir itu adalah nasi dengan lauk daging kucing, hahaha, dan dugaanku meleset. Ternyata nasi kucing ini adalah nama nasi yang disajikan dalam porsi sangat sedikit, sehingga lebih tampak seperti porsi makan untuk kucing. Nasi kucing ini disajikan dengan berbagai macam lauk pauk, seperti tempe kering, ayam, bandeng, sambel, dan sebagainya. Tapi malam itu aku tidak mencobanya, aku masih janggal dengan namanya sehingga aku lebih memilih untuk makan telor penyet yang ternyata rasanya luar biasa enak. Sungguh indah makan malam ditemani dengan pemandangan lampu-lampu kota Solo yang romantis. Ternyata makan malam romantis tak melulu harus ditemani kekasih hati, ditemani keluarga dan lampu kota juga ternyata tak kalah romantisnya, hihihi.

Esok paginya, seperti yang telah direncanakan, kami pergi berkeliling kota Solo. Pertama-tama kami mengunjungi bekas rumah eyang-ku yang kini sudah berpindah tangan. Sebuah rumah dengan pekarangan tiga kali lebih luas dibanding bangunan rumahnya. Benar-benar sebuah rumah yang ideal untuk ditempati sebuah keluarga. Di kotaku mana ada rumah dengan pekarangan seluas itu. Sayangnya, semenjak ayahku merantau ke Jakarta saat muda dulu, dan kakek-nenekku meninggal, rumah ini sudah tak ada yang mengurus dan diputuskan untuk dijual. Kalau saja saat itu aku sudah ada, aku pasti akan menghalangi ayahku menjual rumah ini. Tapi ya sudahlah, mungkin memang sudah seharusnya rumah ini dijual.

Selepas dari (bekas) rumah kakek, kami pergi ke Keraton Solo alias Keraton Surakarta. Pakde ku pernah bercerita bahwa perbedaan Solo dan Yogya salah satunya adalah kepemerintahan kerajaannya. Kata pakdeku di Yogya adalah keraton Kesultanan dan di Solo adalah keraton Kesunanan. Aku tak begitu paham dengan perbedaan ini. Aku pun belum sempat bertanya lagi kepada pakde.

Angkot sewaan ini melaju menuju keraton Solo. Sebuah keraton dengan mayoritas warna biru langit di temboknya. Sayangnya, kami tak boleh masuk ke dalam keraton dan hanya diperkenankan untuk masuk ke museum kereta kencana. Kereta-kereta kencana di museum ini ada cukup banyak dan sangat indah. Beberapa diantaranya tak boleh disentuh, ketika aku tanya paman mengapa tak boleh disentuh, ia pun tidak tahu, hahaha.

Dengan kereta kencana


Setelah puas berkeliling di keraton Surakarta, kami meneruskan perjalanan ke sebuah pasar yang cukup terkenal di kota Solo. Namanya pasar Klewer. Kata bibiku, pasar ini terkenal dengan batiknya. Disana aku membeli beberapa tas batik yang cantik. Ibuku yang notabene asli Sunda, sedikit kewalahan negosiasi harga dengan penjualnya. Untung saja ada bibiku yang lancar bahasa Jawa. Akhirnya kami mendapatkan tas batik itu dengan harga yang cukup murah. Setelah itu kami membeli enting-enting dan wingko untuk dibawa sebagai oleh-oleh.

Ternyata kami menghabiskan waktu cukup lama di pasar Klewer. Sebelum kembali ke hotel, kami diajak ke warung jamu kaki lima. Aku memesan jamu beras kencur. Setelah kucicipi, ternyata rasa jamunya sangat enak, dan berbeda dengan rasa jamu gendongan di kotaku. Rasanya sangat khas dan wueeennakk. Sampai-sampai aku menghabiskan dua gelas. Jamu yang disajikan dengan es batu itu bisa menjadi minuman yang amat pas untuk menemani siang yang terik di kota Solo.

Setelah lelah berkeliling di keraton dan berbelanja di Pasar Klewer, kami kembali ke hotel. Malam ini akan digelar acara pernikahan sepupuku. Setelah beristirahat, malamnya kami pergi ke pesta pernikahan sepupuku. Lokasinya tidak terlalu jauh dari hotel. Berhubung bhulik ku belum tahu kedatangan kami, bhulik merasa sangat senang dan terkejut melihat kehadiran kami di pestanya. Bhulik sedikit ngambek karena kami datang tanpa bilang-bilang padanya. Malam itu, pernikahan sepupuku berlangsung dengan khidmat.

Seusai pesta, kami kembali ke hotel. Kami harus mengemas barang karena besok kami harus kembali ke Jakarta. Berat rasanya hati ini meninggalkan kota senyaman Solo. Aku berniat untuk begadang menghabiskan quality moment di kota Solo ini. Tapi ibuku mencegahnya, beliau bilang, besok kami sudah harus pulang pagi-pagi sekali. Walau sempat menolak, akhirnya aku menurut.

Pagi yang menyedihkan ini akhirnya datang. Betapa tidak, hari ini kami harus pulang meninggalkan kota yang romantis dan nyaman ini. Berat hatiku untuk beranjak. Tapi apadaya. Kami pun bergegas pergi ke Stasiun Balapan. Kami diantar oleh kakak sepupuku, salah satu anak pakdeku. Tepat jam 8.00 pagi, kereta Argo Lawu, yang dua hari lalu mengantar kami ke kota indah ini, datang dan siap memisahkan aku dan Solo kembali. Aku naik ke peron dan menaiki kereta. Selang beberapa menit kemudian, kereta sudah terisi penuh dan mulai melaju.



Sambil melihat keluar jendela kereta, aku bergumam: “Sampai jumpa kota romantis, the spirit of Java! Semoga suatu hari aku bisa kembali lagi kesini atau bahkan menetap disini. Ke kota yang sungguh memikat dan terpatri di hati. Baru kali ini rasanya aku merasakan jatuh cinta pada sebuah Kota. Solo, I love you to the max!”