Feb 11, 2013

Dongeng Kita

Selamat malam kamu yang sedang berdamai di atas kasurmu beberapa kilometer dari tempatku menulis ini. Semoga kamu masih ingat tentang kata demi kata yang hingga saat huruf ini diketik masih terus berotasi di ingatanku. Tolong sisakan sedikit waktumu untuk kembali ke kata awal dari kalimat sebelumnya. Terinderakah olehmu ada pengharapan yang sarat disana? Sekali lagi, semoga.

Tahukah kamu beberapa malam terakhir, ada ratusan detik yang ku sisakan untuk mencari tahu alasan kamu berlalu. Aku terus mencari hingga aku tak jua mengerti. Hingga saat ini. Hingga tanda baca titik setelah berakhirnya kalimat ini.

Bukan, semuanya belum selesai. Aku masih tidak mengerti dan aku belum menyerah.
Bukan untukmu, tapi ini untuk kedamaianku.
Agar aku bisa menjadi sedamai kamu diatas kasurmu saat ini.
Kamu yang damai, tanpa mengingatku, atau sekadar menoleh dan melihat pecahan-pecahan memori yang mengkristal. (mungkin) memori kita.

Aku sudah lelah mengada-ada tentang dongeng kita. Tentang dunia peri yang diakhiri pangeran dan putrinya yang berdansa. Kutahu tak ada dansa di akhir cerita kita. Karena aku bukan peri. Dan tak ada aku di dunia peri. Tapi aku tak ingin, pada akhirnya aku harus lirih berkata, bahwa ternyata, dongeng kita, tak pernah ada.