Solo. Aku bukan hendak bercerita
tentang penyanyi yang bernyanyi sendirian, melainkan tentang nama sebuah kota menawan
yang begitu tersohor di Provinsi Jawa Tengah.
Suatu hari di bulan Juli 2011.
Jam tanganku menunjukkan pukul
20:00 WIB. Aku, ibu, dan adikku serta beberapa anggota keluarga kami yang lain
tengah berdiri di peron statisun Gambir. Menunggu kedatangan kereta yang akan
membawa kami ke kota asal almarhum ayahku. Setelah satu jam, kereta yang
ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ini kali pertama adikku naik kereta. Dia
terlihat sungguh bergairah ingin segera mencoba sensasi bertransportasi dengan
kereta. Sementara ini kali keduaku. Pertama kali aku naik kereta adalah ketika
aku masih balita, saat itu ayahku masih ada dan adikku belum lahir.
Aku dan keluargaku mengisi tempat
duduk yang sudah dipesan. Kereta melaju, adikku tak henti-henti memandang
keluar jendela, walau sebenarnya tak terlihat apa-apa karena langit sudah
gelap. Sementara adikku masih menikmati pengalaman pertamanya naik kereta, aku
memilih untuk tidur.
Subuh itu, kereta penumpang Argo
Lawu yang kutumpangi tiba di sebuah stasiun. Aku bergegas mengambil koper dan
segera turun dari kereta. Aku berjalan menjauhi kereta dan melihat sekeliling.
Pandanganku berhenti saat melihat papan nama stasiun ini: Solo Balapan. Ah
inikah stasiun yang selama ini hanya aku dengar di lagu Mas Didi Kempot itu?
Dan sekarang aku sudah benar-benar menginjakkan kaki di peronnya. Mungkin waktu
balita dulu juga aku pernah kesini, tapi aku sama sekali tak ingat.
Sebelum menuju hotel, kami
menunaikan sholat Shubuh terlebih dulu di musola Stasiun Solo Balapan. Di
seberang musola kulihat ada beberapa lokomotif sedang terparkir. Udara subuh di
Solo tak sedingin di kota tempat tinggalku, Sukabumi. Walau begitu, udaranya
terasa sangat bersahabat dan terasa tak asing bagiku. Mungkin karena kota ini
adalah kota kelahiran ayahku, yang artinya kota ini juga kota asalku walau aku
tak terlahir disini. Bisa dimaklumi, karena budaya keturunan di Indonesia
sangat kuat.
Seusai solat Subuh, kami
memutuskan untuk langsung menuju hotel menggunakan mobil sewaan. Sebenarnya di
kota ini ada satu rumah bhulik dan
satu rumah pakde ku. Tujuan kami ke
kota ini adalah untuk menghadiri pernikahan anak bhulik ku. Karena takut merepotkan empunya acara, kami memutuskan
untuk tidak bilang-bilang bahwa kami sudah tiba di kota Solo. Kalau kami
bilang-bilang, pasti bhulik ku bakal
lebih repot, maka kami memutuskan untuk datang diam-diam dan menyewa kamar
hotel sendiri, bukan hotel bintang lima, tapi cukup nyaman dan bersahabat
dengan kantong. Di hotel inilah kami beristirahat selama dua malam di kota
Solo.
Karena masih lelah, hari ini kami
putuskan untuk beristirahat penuh.
Pamanku yang ikut di rombongan kami sudah merencanakan untuk jalan-jalan
keliling kota Solo esok pagi. Ia bilang, ia akan menyewa angkot untuk satu hari
penuh dan kita bebas keliling kota Solo. Aku tak sabar menanti hari esok.
Malamnya, ketika jam makan tiba,
anak pamanku yang juga ikut di rombongan mengajak kami untuk makan di warung
angkringan pinggir jalan. Katanya, sensasi makannya akan terasa lebih nikmat.
Malam itu kami berjalan menyusuri trotoar di pinggir jalan kota Solo. Ah
lampu-lampu gemerlapan nan cantik menyinari malam hari di kota. Udara malam
yang tidak terlalu menusuk membuat jalan-jalan malam itu terasa hangat dan
romantis.
Setibanya di warung angkringan
itu, aku melihat banyak menu yang terdengar cukup asing, salah satunya nasi
kucing. Aku bertanya kepada pamanku apa itu nasi kucing. Kupikir itu adalah nasi
dengan lauk daging kucing, hahaha, dan dugaanku meleset. Ternyata
nasi kucing ini adalah nama nasi yang disajikan dalam porsi sangat sedikit, sehingga
lebih tampak seperti porsi makan untuk kucing. Nasi kucing ini disajikan dengan
berbagai macam lauk pauk, seperti tempe kering, ayam, bandeng, sambel, dan
sebagainya. Tapi malam itu aku tidak mencobanya, aku masih janggal dengan
namanya sehingga aku lebih memilih untuk makan telor penyet yang ternyata
rasanya luar biasa enak. Sungguh indah makan malam ditemani dengan pemandangan lampu-lampu kota Solo yang
romantis. Ternyata makan malam romantis tak melulu harus ditemani kekasih hati,
ditemani keluarga dan lampu kota juga ternyata tak kalah romantisnya, hihihi.
Esok paginya, seperti yang telah direncanakan, kami pergi
berkeliling kota Solo. Pertama-tama kami mengunjungi bekas rumah eyang-ku yang kini sudah berpindah
tangan. Sebuah rumah dengan pekarangan tiga kali lebih luas dibanding bangunan
rumahnya. Benar-benar sebuah rumah yang ideal untuk ditempati sebuah keluarga.
Di kotaku mana ada rumah dengan pekarangan seluas itu. Sayangnya, semenjak
ayahku merantau ke Jakarta saat muda dulu, dan kakek-nenekku meninggal, rumah
ini sudah tak ada yang mengurus dan diputuskan untuk dijual. Kalau saja saat
itu aku sudah ada, aku pasti akan menghalangi ayahku menjual rumah ini. Tapi ya
sudahlah, mungkin memang sudah seharusnya rumah ini dijual.
Selepas dari (bekas) rumah kakek, kami pergi ke Keraton
Solo alias Keraton Surakarta. Pakde
ku pernah bercerita bahwa perbedaan Solo dan Yogya salah satunya adalah
kepemerintahan kerajaannya. Kata pakdeku
di Yogya adalah keraton Kesultanan dan di Solo adalah keraton Kesunanan. Aku
tak begitu paham dengan perbedaan ini. Aku pun belum sempat bertanya lagi
kepada pakde.
Angkot sewaan ini melaju menuju keraton Solo. Sebuah
keraton dengan mayoritas warna biru langit di temboknya. Sayangnya, kami tak
boleh masuk ke dalam keraton dan hanya diperkenankan untuk masuk ke museum
kereta kencana. Kereta-kereta kencana di museum ini ada cukup banyak dan sangat
indah. Beberapa diantaranya tak boleh disentuh, ketika aku tanya paman mengapa
tak boleh disentuh, ia pun tidak tahu, hahaha.
Dengan kereta kencana |
Setelah puas berkeliling di keraton Surakarta, kami
meneruskan perjalanan ke sebuah pasar yang cukup terkenal di kota Solo. Namanya
pasar Klewer. Kata bibiku, pasar ini terkenal dengan batiknya. Disana aku
membeli beberapa tas batik yang cantik. Ibuku yang notabene asli Sunda, sedikit
kewalahan negosiasi harga dengan penjualnya. Untung saja ada bibiku yang lancar
bahasa Jawa. Akhirnya kami mendapatkan tas batik itu dengan harga yang cukup
murah. Setelah itu kami membeli enting-enting dan wingko untuk dibawa sebagai
oleh-oleh.
Ternyata kami menghabiskan waktu cukup lama di pasar
Klewer. Sebelum kembali ke hotel, kami diajak ke warung jamu kaki lima. Aku
memesan jamu beras kencur. Setelah kucicipi, ternyata rasa jamunya sangat enak,
dan berbeda dengan rasa jamu gendongan di kotaku. Rasanya sangat khas dan wueeennakk. Sampai-sampai aku
menghabiskan dua gelas. Jamu yang disajikan dengan es batu itu bisa menjadi
minuman yang amat pas untuk menemani siang yang terik di kota Solo.
Setelah lelah berkeliling di keraton dan berbelanja di
Pasar Klewer, kami kembali ke hotel. Malam ini akan digelar acara pernikahan
sepupuku. Setelah beristirahat, malamnya kami pergi ke pesta pernikahan
sepupuku. Lokasinya tidak terlalu jauh dari hotel. Berhubung bhulik ku belum tahu kedatangan kami, bhulik merasa sangat senang dan terkejut
melihat kehadiran kami di pestanya. Bhulik
sedikit ngambek karena kami
datang tanpa bilang-bilang padanya. Malam itu, pernikahan sepupuku berlangsung
dengan khidmat.
Seusai pesta, kami kembali ke hotel. Kami harus mengemas barang karena besok kami harus
kembali ke Jakarta. Berat rasanya hati ini meninggalkan kota senyaman Solo. Aku
berniat untuk begadang menghabiskan quality
moment di kota Solo ini. Tapi ibuku mencegahnya, beliau bilang, besok kami
sudah harus pulang pagi-pagi sekali. Walau sempat menolak, akhirnya aku
menurut.
Pagi yang menyedihkan ini akhirnya datang. Betapa tidak,
hari ini kami harus pulang meninggalkan kota yang romantis dan nyaman ini.
Berat hatiku untuk beranjak. Tapi apadaya. Kami pun bergegas pergi ke Stasiun
Balapan. Kami diantar oleh kakak sepupuku, salah satu anak pakdeku. Tepat jam 8.00 pagi, kereta Argo Lawu, yang dua hari lalu
mengantar kami ke kota indah ini, datang dan siap memisahkan aku dan Solo
kembali. Aku naik ke peron dan menaiki kereta. Selang beberapa menit kemudian,
kereta sudah terisi penuh dan mulai melaju.
Sambil melihat keluar
jendela kereta, aku bergumam: “Sampai jumpa kota romantis, the spirit of Java! Semoga
suatu hari aku bisa kembali lagi kesini atau bahkan menetap disini. Ke kota
yang sungguh memikat dan terpatri di hati. Baru kali ini rasanya aku merasakan
jatuh cinta pada sebuah Kota. Solo, I love you to the max!”
0 komentar:
Post a Comment