Masih lekat dalam ingatan, di bulan-bulan pertama perkuliahan berlangsung. Aku yang baru pertama kali merasakan tinggal jauh dari rumah untuk waktu yang lama, masih membutuhkan begitu banyak adaptasi. Hari-hari terlewati dengan hati yang linu karena terlalu rindu. Rindu rumah yang tetap terasa terang benderang saat mati lampu, karena saat itu kita berkumpul mengelilingi lilin, berpisah sejenak dengan teknologi, dan berbicara dari hati ke hati. Entah berapa kali rindu itu mengakar, membuka saluran-saluran untuk mengalirnya air mata. Tumpah ruah membasahi sajadah. Rindu memang se-tidak memberdayakan ini.
Masih juga susah melupakan, kala mulut-mulut kalian dengan jahatnya mencerca aku yang sedikit-sedikit pulang. Yang ada libur pasti pulang. Yang dengan kejam bilang aku itu terlalu buang-buang uang. Sakit yang sudah menganga itu, bagai disiramkan cuka, perih sekali. Kalian tidak pernah tahu betapa berharganya memiliki sayap yang tak lagi sepasang. Padahal, sungguh sepeserpun kalian tidak kurugikan. Aku tak pernah meminta ongkos kepada kalian untuk pulang. Mengapa kalian begitu sibuk melarang-larang? Kalian memang sangat mandiri, hingga seenaknya kalian bilang aku anak mami. Tapi rintangan kita berbeda, kawan. Kalian sungguh tak boleh seenaknya menjustifikasi.
Aku memang gendut, dan hitam. Sudah puas kalian terus mengatakan aku besar? Padahal tak pernah rasanya aku hina postur kalian yang pendek. Tak pernah aku caci wajah kalian yang penuh jerawat. Tak pernah pula aku olok-olok kacamata kalian yang tebal macam nenek-nenek. "Kenapa kamu sakit hati dibilang besar? Kan kenyataannya kamu memang besar.". Sialan. Baru kutahu, selain suara, mulut pun bisa mengeluarkan sampah. Kalau memang begitu menurutmu, cobalah kau ubah presepsi semua manusia di bumi ini yang masih dengan enteng bilang 'Kamu teh cantik, tapi sayangnya gendut!' itu. Coba. Jika kau berhasil, maka jika dihina gendut lagi, aku bersumpah tak akan sakit hati.
Dan untuk kalian yang seenaknya menyamakan aku dengan dugong, tolong kalian bayangkan jika suatu hari kalian punya anak perempuan, yang gendut nun hitam, dan disamakan dengan dugong. Coba bayangkan. Ibu mana yang hatinya tidak sakit, anak yang susah payah dikandungnya 9 bulan, dilahirkannya bertaruh nyawa, disusuinya dengan sabar, dibesarkannya dengan ikhlas, lalu disamakan dengan sapi laut? Sungguh kawan, aku sudah kebal dihina, disamakan dengan binatang, dikatakan besar memenuhi bumi, membuat ban kempes dll. Aku sudah berdamai. Dosaku kalian ambil, aku senang. Namun sungguh, saat suatu hari aku bercerita pada ibuku, aku tak menyangka ia akan berlinangan air mata saat mendengarkan ceritaku ini.
Dan dari situlah aku mulai ragu untuk berteman.
Aku mulai ragu bahwa teman itu betulan makhluk yang ada di muka bumi.
Dan sejak itu, aku tak peduli lagi jika seluruh dunia menjauh. Aku tidak butuh teman yang hanya ada ketika butuh. Seenaknya mengatur dan menyuruh. Bermanfaat itu bagus, tapi kalau mau terus-terusan dimanfaatkan, bukankah itu terlalu naif? I am just an ordinary human being! I can be patient, and in the same time, I also have limit.
Masih juga susah melupakan, kala mulut-mulut kalian dengan jahatnya mencerca aku yang sedikit-sedikit pulang. Yang ada libur pasti pulang. Yang dengan kejam bilang aku itu terlalu buang-buang uang. Sakit yang sudah menganga itu, bagai disiramkan cuka, perih sekali. Kalian tidak pernah tahu betapa berharganya memiliki sayap yang tak lagi sepasang. Padahal, sungguh sepeserpun kalian tidak kurugikan. Aku tak pernah meminta ongkos kepada kalian untuk pulang. Mengapa kalian begitu sibuk melarang-larang? Kalian memang sangat mandiri, hingga seenaknya kalian bilang aku anak mami. Tapi rintangan kita berbeda, kawan. Kalian sungguh tak boleh seenaknya menjustifikasi.
Aku memang gendut, dan hitam. Sudah puas kalian terus mengatakan aku besar? Padahal tak pernah rasanya aku hina postur kalian yang pendek. Tak pernah aku caci wajah kalian yang penuh jerawat. Tak pernah pula aku olok-olok kacamata kalian yang tebal macam nenek-nenek. "Kenapa kamu sakit hati dibilang besar? Kan kenyataannya kamu memang besar.". Sialan. Baru kutahu, selain suara, mulut pun bisa mengeluarkan sampah. Kalau memang begitu menurutmu, cobalah kau ubah presepsi semua manusia di bumi ini yang masih dengan enteng bilang 'Kamu teh cantik, tapi sayangnya gendut!' itu. Coba. Jika kau berhasil, maka jika dihina gendut lagi, aku bersumpah tak akan sakit hati.
Dan untuk kalian yang seenaknya menyamakan aku dengan dugong, tolong kalian bayangkan jika suatu hari kalian punya anak perempuan, yang gendut nun hitam, dan disamakan dengan dugong. Coba bayangkan. Ibu mana yang hatinya tidak sakit, anak yang susah payah dikandungnya 9 bulan, dilahirkannya bertaruh nyawa, disusuinya dengan sabar, dibesarkannya dengan ikhlas, lalu disamakan dengan sapi laut? Sungguh kawan, aku sudah kebal dihina, disamakan dengan binatang, dikatakan besar memenuhi bumi, membuat ban kempes dll. Aku sudah berdamai. Dosaku kalian ambil, aku senang. Namun sungguh, saat suatu hari aku bercerita pada ibuku, aku tak menyangka ia akan berlinangan air mata saat mendengarkan ceritaku ini.
Dan dari situlah aku mulai ragu untuk berteman.
Aku mulai ragu bahwa teman itu betulan makhluk yang ada di muka bumi.
Dan sejak itu, aku tak peduli lagi jika seluruh dunia menjauh. Aku tidak butuh teman yang hanya ada ketika butuh. Seenaknya mengatur dan menyuruh. Bermanfaat itu bagus, tapi kalau mau terus-terusan dimanfaatkan, bukankah itu terlalu naif? I am just an ordinary human being! I can be patient, and in the same time, I also have limit.